Dana moneter Internasional atau IMF menyatakan bahwa ekonomi global tengah memasuki suatu masa tersuram dalam krisis keuangan terbesar yang pernah terjadi sejak resesi global era 1930-an. Menurut IMF, gejolak ekonomi global yang awalnya dipicu oleh krisis subprime mortgage pada medio 2007 ini kondisinya terus memburuk dan memasuki masa turbulensi pada September 2008 lalu. IMF-pun memproyeksikan bahwa pertumbuhan AS, Eropa, Jepang dan Kanada tahun ini hanya sebesar 1,5% dan turun menjadi 0,5% pada 2009. Bradford DeLong, professor ekonomi dari Universitas California di Berkeley, juga berpendapat senada bahwa ekonomi dunia kini tengah memasuki masa resesi terburuk sejak era 1980-an.
Jika menengok ke belakang,krisis subprime mortgage yang menjadi trigger resesi global saat ini, sebenarnya bermula dari ketamakan AS sendiri. Awalnya, sekitar tahun 2003/2004 harga minyak mentah dunia mulai merangkak naik akibat imbalansi supply-demand di pasar internasional. Beberapa analis menyebutkan, terganggunya mekanisme pasar minyak dunia kala itu tidak terlepas dari gejolak politik di Timur Tengah akibat agresi militer AS beberapa waktu sebelumnya. Selanjutnya, lonjakan harga minyak menciptakan tekanan inflasi global dari sisi penawaran (supply-side).
The Fed merespon tekanan inflasi ini dengan menaikkan suku bunga. Tercatat dalam periode Mei 2004 hingga Juni 2006 Fed Fund Rate (FFR) secara gradual telah mengalami peningkatan sebesar 425 basis poin dari 1% menjadi 5,25%. FFR sebesar 5,25% ini dipertahankan hingga Agustus 2007. Dampaknya memicu kenaikan suku bunga kredit di AS, termasuk suku bunga kredit properti secara signifikan. Akibatnya, debitur yang secara profil pembayaran memang sudah rendah menjadi kian lemah dan terjadilah kredit macet (credit crunch) di sektor properti yang diiringi depresiasi aset. Berikutnya pasar KPR memburuk, portofolio dan proses sekuritisasi perumahan macet, serta bank-bank pembeli subprime loans dan investor mengalami kerugian miliaran dolar AS. Secara sistematik, gejolak keuangan ini dikenal dengan istilah subprime mortgage.
Ternyata gejolak akibat subprime mortgage sudah berlangsung lebih dari 1 tahun, sejak medio 2007. AS sebagai salah satu negara yang paling berat merasakan imbasnya dilaporkan kini tengah melakukan overhaul atas sistem keuangannya. Kegiatan “turun mesin” ini yang terbesar sejak Great Depression melanda AS pada era 1930-an. Untuk menghindari terjadinya systematic insolvency, pemerintah AS terus melakukan suntikan modal (bail-out) pada berbagai institusi keuangan. Pada Maret 2008 lalu, misalnya The Fed rela mengucurkan dana sebesar US$ 28,8 miliar pada berbagai institusi keuangan di AS, seperti Morgan Stanley dan Goldman Sachs Group Inc. Boleh dibilang kucuran kredit kepada institusi keuangan non bank di AS ini merupakan yang pertama kali dilakukan The Fed sejak 70 tahun terakhir.
Kemudian, pada September lalu, pemerintah AS juga mengucurkan US$ 25 miliar kepada dua perusahaan raksasa pembiayaan KPR, yakni Fannie Mae dan Freddie Mac. Berikutnya, Oktober ini US Treasury juga menambah kucuran dana sebesar US$ 700 miliar guna menyehatkan berbagai bank yang sakit akibat krisis. Kabar terbaru menyebutkan bahwa Gedung Putih kini tengah menyiapkan dana talangan terbaru sebesar US$ 350 miliar dalam rangka mengantisipasi gejolak keuangan lanjutan. Jika dihitung, total suntikan dana pemerintah AS dalam rangka penyelesaian krisis finansial ini sudah lebih dari US$ 1 triliun. Hingga kini, dunia sekurangnya telah mengalami sepuluh kali masa resesi. Namun, jika dilihat dari magnitudenya, sekurangnya ada 4 resesi hebat yakni pada era 1930-an, 1970-an, 1990-an dan saat ini. Dari ke-empat resesi hebat ini pada dasarnya dipicu oleh penyebab yang sama : lonjakan harga minyak, persoalan kredit macet dan deflasi aset properti. Sebagian ekonom menganggap resesi 1930-an yang paling dahsyat dari dampak yang ditimbulkan maupun durasi waktunya. Satu pembelajaran berharga dari berbagai resesi yang melanda dunia bahwa gejolak resesi biasanya diwarnai dengan tekanan inflasi dari sisi penawaran (supply side) karena lonjakan harga minyak dan komoditas internasional.
Dikutip dari Harian Kontan
Tulisan Muhammad Romli, Analis Badan Kebijakan Fiskal DEPKEU RI
No comments:
Post a Comment